Hukuman Sepele Guru Yang Berujung Pidana, Sejak 2010 Sampai 2017

Guru dilaporkan polisi karena menghukum siswa

Kalau ada yang bilang guru itu profesi mudah, tampaknya perlu dipikirkan ulang. Ya, bolehlah dikatakan kalau semua orang bisa mengajar. Mendidik atau merawat (anak) memang aktivitas yang bisa dikerjakan semua orang.

Tapi bagi seorang guru, tugas mengajar di sekolah sama sekali berbeda. Dalam setiap geraknya, ada beban moral dan sosial yang dipikul. Kalau orang tua di rumah melakukan kesalahan mungkin si anak masih maklum. Tapi kalau guru salah langkah, akibatnya bisa fatal.

Seperti yang dialami beberapa rekan guru di bawah ini. Niat yang tulus dalam mendidik (dalam bentuk memberi hukuman/punishment) harus berakhir di kantor polisi. Orang tua anak yang merasa tak terima langsung melaporkan perbuatan sang guru ke pihak kepolisian.

Siapa yang salah?

Kita semua tentu harus obyektif menilainya. Guru yang menghukum secara fisik apalagi sampai menimbulkan cacat pada anak sangat layak dipidanakan. Namun di sisi lain, orang tua yang anaknya dihukum guru sedikit saja, janganlah terlalu “lebay” melakukan protes, apalagi sampai membuat laporan resmi ke polisi.

Perlu keseimbangan diantara keduanya, dan saling percaya.

Semua juga harus tahu bahwa salah satu tugas guru dalam mengajar adalah memberi reward and punishment, artinya memberi penghargaan sekaligus hukuman. Penghargaan/pujian diberikan kepada siswa yang menjalankan tugasnya dengan baik, dan bertanggung jawab terhadap peraturan yang ada. Sedangkan hukuman/peringatan diberikan kepada siswa yang lalai terhadap program dan kebijakan sekolah.

Apa akibat dari banyaknya kasus guru yang dipidanakan?

Yang jelas, setelah pemberitaan tentang guru yang dipidana itu banyak dimuat media, banyak guru saat ini yang pilih cari aman. Harus ekstra hati-hati kalau ingin “menyentuh” si anak.

Bagaimana tidak, sudah capek-capek bikin perencanaan mengajar, kadang dalam praktiknya tidak digubris siswa. Sudah capek-capek memberikan teladan bersikap, kadang lingkungan masyarakat mencontohkan sebaliknya. Sudah capek-capek memberikan pelajaran moral di tengah tayangan televisi yang merusak moral. Masak mau dimasukkan penjara juga!

Dalam kondisi ketakutan yang sangat, guru bisa saja membiarkan apapun kesalahan dan perilaku buruk murid demi satu tujuan: tidak mau berurusan dengan polisi.

Bahkan sudah banyak sekolah kini yang waktu penerimaan siswa baru (PPDB) harus menandatangani surat pernyataan tidak melaporkan guru ke pihak berwajib berkait dengan tugas mendidik. Sesuatu hal yang sangat tidak perlu. Apalagi kalau tidak disebabkan maraknya guru-guru yang dilaporkan ke polisi akibat ulah segelintir orang tua siswa. Kabar baiknya, pemerintah kini hadir memberikan perlindungan terhadap tugas guru lewat Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Disitu dijelaskan guru mendapat perlindungan dari segala ancaman, intimidasi dan perlakuan tidak adil dari pihak lain terkait dengan tugas sebagai pendidik dan tenaga kependidikan.
Nah, ini adalah angin segar tidak hanya untuk guru, tapi bagi semua pihak.

Mudah-mudahan tahun ini adalah akhir dari perselisihan guru dengan orang tua siswa yang berujung di kepolisian.

Guru dilaporkan polisi

Inilah Daftar Guru yang Dipidana Akibat Menghukum (Mendidik) Siswa

Baiklah, marilah kita melihat kembali beberapa kasus yang pernah terjadi. Kalau diperhatikan, selama kurun waktu 7 tahun, setiap tahun pasti ada saja guru yang dilaporkan orang tua ke polisi karena kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

2010 (Rahman)

Guru SD di Banyuwangi ini dilaporkan ke polisi setelah memukul betis siswinya dengan penggrais. Hukuman itu diberikan karena siswi tersebut memukul dan menendang 4 temannya sampai menangis.

Jalur mediasi yang ditempuh dengan meminta maaf kepada keluarga siswa, tidak mendapat respon baik. Dengan bukti-bukti yang ada, jaksa menuntut 5 tahun penjara.

Untungnya hakim berkata lain. Menurut hakim, sanksi memukul betis bagian belakang dengan penggaris kayu masih dalam koridor pendidikan. Sang guru akhirnya dibebaskan.

2011 (Winoto)

Guru SMAN 1 Sintang ini sudah memohon maaf atas kesalahan yang dilakukannya, yakni menampar siswa yang mangkir dari kegiatan membersihkan lingkungan sekolah. Namun upaya maaf yang ditujukan kepada siswa korban dan orang tua ini tak berbuah manis. Guru ini pun tetap dilaporkan ke pihak kepolisian atas dasar berbuat semena-mena.

2012 (Aop Saopudin)

Kejadian bermula saat guru SDN Penjalin Kidul 5 Majalengka menerapkan razia rambut panjang kepada para siswa. Hasilnya, 4 siswa kedapatan memiliki rambut yang tidak sesuai aturan sekolah.
Akibatnya, sang guru memberikan punishment dengan memotong rambut siswa sekenanya, gundul tak beraturan. Hukuman yang jauh dari cacat atau luka fisik ini dipilih agar ke depan siswa lebih disiplin.

Namun sayang, salah satu siswa tersebut mengadu ke ayahnya. Ironisnya sang ayah tidak terima dengan perlakuan guru. Dirinya berupaya membalas dengan 2 hal konyol: mencukur balik sang guru lalu melaporkan ke polisi.

Namun meski jelas-jelas ini tindakan konyol, sang guru tetap dijatuhi pasal berlapis Perlindungan Anak dan Perbuatan Tidak Menyenangkan. Bahkan ia sempat dikenakan hukuman percobaan 6 bulan.

Beruntung, setelah mengajukan kasasi, Mahkamah Agung memvonis bebas guru honorer ini dan menyatakan tidak ada pelanggaran hukum apapun.

2013 (7 guru SMPN I Wundulako)

Kasus yang terjadi di Kolaka, Sulawesi Tenggara ini sempat menarik perhatian. Sebab saat ketujuh guru ini hendak diperiksa di Polsek, ratusan siswa sekolah ini datang langsung memberi dukungan dan menyatakan guru mereka tidak bersalah.

Kejadian bermula saat sekolah memutuskan untuk memanggil seorang siswa bernama Arfan Arianto yang dinilai sudah sangat nakal dan suka berbuat onar. Saat dipanggil tersebut, si anak malah mengeluarkan kata kasar tanda tidak terima. Sebagai tindakan disiplin, guru lantas memukul siswa itu menggunakan buku absen.

Meskipun yakin tidak ada tindak pidana dalam kejadian ini, pihak sekolah sebenarnya masih berharap ada penyelesaian secara kekeluargaan. Bahkan siswa yang lainnya menilai guru mereka masih bertindak dalam koridor kewajaran.

2014 (Ika)

Bulan Agustus 2014, guru SD di Kota Malang dilaporkan ke polisi karena menampar dan mencubit siswa. Tidak hanya itu, paman korban sempat mengadu ke DPRD Kota Malang agar kasus yang menimpa keponakannya ini ditanggapi serius.

Permasalahan semakin alot setelah adanya kabar sang guru enggan meminta maaf karena siswa itu anak nakal. Juga kabar lain bahwa di sekolah, si anak diminta menutupi kejadian itu dengan mengaku bahwa ia sendiri yang mencubit pipinya.

Jalur mediasi dan kekeluargaan tetap ditempuh Dinas Pendidikan setempat, meskipun keluarga menolak dan meneruskan kasus ini ke jalur hukum.

2015 (Nurmayani)

Kasus yang menimpa guru SMPN 1 Bantaeng Sulsel ini sempat menghebohkan masyarakat Indonesia. Publik menilai bahwa hukuman mencubit yang dilakukannya kepada siswa agar lebih disiplin tak pantas dibawa ke jalur hukum.

Fakta lain bahwa ayah dari siswa yang dicubit itu adalah anggota kepolisian juga meramaikan komentar publik.

Yang jelas, nahas bagi guru biologi ini. Upaya mediasi dan cara damai gagal menemui titik temu, sehingga ia ditetapkan sebagai tahanan titipan Kejaksaan Negeri Bantaeng.

2016 (Sambudi)

Kasus yang mirip Nurmayani terulang di awal tahun 2016. Kali ini menimpa Sambudi guru SMP di Sidoarjo. Dia juga dipolisikan karena mencubit siswa yang melanggar disiplin sekolah, yakni mangkir dari Salat Dhuha dan memilih bermain di tepi sungai.

Ayah siswa pelapor yang tidak lain adalah anggota TNI semakin menunjukkan bahwa dua kasus yang terjadi berdekatan yang dialami Nurmayani dan Sambudi ini benar-benar mirip.

Namun menghadapi kasusnya, Sambudi tidak sendirian. PGRI Sidoarjo bersama ratusan guru sampai melakukan long march menuju Pengadilan Negeri Sidoarjo untuk melakukan pendampingan. Semua meyakini hukuman yang berupa mencubit masih dalam koridor pendidikan.

Akhirnya di pertengahan tahun, jalan damai berhasil ditempuh. Pelapor bersedia mencabut laporannya setelah muncul berbagai desakan, terutama kasus ini jika dibiarkan maka semakin lama malah semakin mencoreng citra institusi guru, TNI dan pengadilan.

2017 ( ? ? ? )

Sampai memasuki sepertiga akhir tahun ini, belum ada satupun berita guru yang berurusan dengan hukum lantaran hukuman sepele yang dilakukannya. Mudah-mudahan ini akhir dari kasus-kasus konyol yang menimpa guru karena memberi hukuman dalam konteks mendidik.

Meski memang ada beberapa kasus yang terjadi pada tahun ini. Namun yang dilakukan guru tersebut memang masuk kategori pidana. Seperti yang terjadi di Sidoarjo pada Februari lalu, oknum guru yang memukul siswa sampai luka di bagian kepala dan tangan. Atau oknum guru di Balikpapan yang juga memukul siswa sampai luka lebam di bagian pipinya. Jenis hukuman terhadap siswa yang seperti ini jelas tidak dibenarkan.
. . .
Nah, itulah sederet kejadian malang yang menimpa beberapa rekan guru. Niat baik mendidik, memberi pelajaran moral, justru berakhir di pengadilan. Sekali lagi, dibutuhkan kerjasama antara guru dan orang tua yang baik agar kejadian serupa tak terulang.

Selama upaya guru mendisiplinkan anak masih dalam konteks wajar, dan bisa dimusyawarahkan, janganlah terburu-buru datang ke sekolah untuk melabrak bahkan membawa ke jalur hukum. Jikapun terbukti ada oknum guru melakukan kekerasan di lingkungan sekolah apalagi sampai menimbulkan cidera fisik, jangankan anda, seluruh institusi guru juga akan meminta oknum guru tersebut dipidanakan.

Lebih baik mediasi dulu, diselesaikan secara kekeluargaan. Karena kalau sudah sampai di kepolisian, kemudian mencuat ke publik, ini bisa berdampak buruk terhadap psikologis anak di masa datang.

Terima kasih telah mengunjungi lapak sederhana ini. Kehadiran dan dukungan Anda adalah penyemangat saya untuk terus menulis dan berbagi informasi tentang pendidikan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Anda.