5 Penyebab Guru Malas Menulis

guru malas menulis

Guru malas menulis? Rasa-rasanya kok tidak mungkin. Bukankah setiap hari guru itu pekerjaannya menulis?

Betul. Guru selalu menyampaikan materi ke siswa pasti dibumbui dengan menulis di papan tulis. Guru juga mencatat hal-hal penting saat rapat, menulis administrasi mengajar, atau petunjuk tentang kebijakan baru, juga menuntut kegiatan menulis.

Tapi semua itu masih dalam ranah tupoksi guru. Artinya tulisan yang dihasilkan masih sebatas menyalin dari buku paket dan misalnya ada yang ide sendiri itupun hanya karena tuntutan atasan. Atau paling bagus untuk kenaikan jabatan.

Kalau yang dimaksud menulis disini adalah menulis artikel secara mandiri dan tanpa diperintah, untuk kemudian diupload di website atau blog pribadi, atau dikirimkan ke media massa, atau diterbitkan menjadi sebuah buku, masih sedikit guru yang mau melakukannya. Pokoknya tulisan-tulisan yang menuntut kedalaman pemikiran dan berpikir komprehensif, kebanyakan guru masih enggan.

Mengapa?

Inilah yang akan menjadi topik postingan kali ini. Harapannya, setelah sadar apa saja hal-hal yang menghambat niat untuk menulis, segera melakukan koreksi dan mulai berpikir tema apa yang paling mudah dulu, lalu tanpa pikir panjang langsung menuliskan apa yang ada di pikiran.

Baca: Pilih jadi blogger atau penulis buku?

Biar mudah, mari kita bedakan penyebab malas menulis menjadi dua bagian. Yang pertama adalah penyebab dari dalam (faktor internal), dan yang kedua penyebab dari luar (faktor ekstern). Poin nomor 1 sampai 3 adalah faktor internal, sedangkan nomor 4 dan 5 merupakan faktor eksternal. Berikut ini ulasan lengkapnya.

1. Sibuk dengan rutinitas dinas

Semakin lama tuntutan yang dialamatkan pada guru semakin banyak. Kalau dulu guru cukup mengajar di dalam kelas, sekarang harus membuat perencanaan. Termasuk membuat soal tes, mengevaluasi hasil belajar siswa, mencari media dan alat peraga yang tepat.

Itu belum kalau ada pemberkasan tertentu, misalnya sertifikasi, KGB, mengisi kuesioner PMP dan sebagainya. Sehingga meski tampaknya guru pulang lebih awal dibanding pegawai instansi lain, faktanya banyak yang harus menyelesaikan pekerjaan itu di rumah.

Kapan waktu menulisnya?

2. Sulit mencari ide tulisan

Terkadang di tengah aktivitas yang padat, anda sudah mampu menyisihkan waktu, misalkan tiap jam 3 sampai 4 pagi. Tapi saat hendak menulis kalimat pertama, tiba-tiba blank bingung menulis tentang apa. Saya harus menulis apa dan bagaimana mengawalinya. Akhirnya keinginan menulis berhenti di angan-angan saja.

3. Muncul rasa kurang percaya diri secara tiba-tiba

Masalah ini hampir dialami semua penulis pemula. Saat enak-enak menulis, tiba-tiba muncul perasaan, “Jangan-jangan tulisan saya kurang menarik”. Bisa juga takut dikira sok bijak, sok menasehati, jangan-jangan data saya salah, dan sebagainya.

Padahal pikiran semacam itu terlalu kejauhan. Belum tentu juga tulisan anda dibaca orang. Kalau dibaca kemudian disalahkan, ya alhamdulilah. Berarti ada yang mengkoreksi, artinya itu peduli. Yang penting jujur dan tidak bohong, kalau salah itu wajar.

4. Lingkungan guru kurang mendukung

Dosen dan guru itu sama-sama pendidik. Tapi entah kenapa kalau di sekolah gereget menulisnya kalah jauh dibanding kampus. Ada anggapan bahwa dosen itu tingkat intelektualnya lebih tinggi dibanding guru.

Salah besar. Belum tentu dosen dengan kemahirannya berdiri di depan mahasiswa itu juga terampil mengajar anak-anak usia sekolah. Karena kampus dan sekolah itu hanya beda jenjang, dua dimensi yang berbeda. Jadi guru dan dosen hebat di dunianya masing-masing.

Lalu kenapa dosen lebih produktif menulis? Karena lingkungannya mendukung! Bayangkan jika guru terlihat sering sibuk mengetik untuk menulis artikel, yang ada malah menjadi bahan prasangka, “Emangnya tugas rutin udah selesai??”

5. Kurang penghargaan dan perlindungan

Plagiasi saat ini masih marak dan menjadi phobia tersebar para penulis. Bagaimana tidak, publikasi karya secara online (lewat blog, facebook, dan lainnya) malah menjadi ladang orang tak bertanggungjawab untuk dicopy paste untuk diakui sebagai karyanya. Sehingga karya tulis orisinil dengan copas sulit dibedakan mana penulis asilnya. Akhirnya guru yang sudah mulai merintis untuk menulis, menjadi malas dan berhenti karena tidak ingin cuma jadi joki, ide-idenya dicuri seenaknya.

5 alasan itulah yang jadi penyebab, kenapa guru yang menghasilkan karya tulis jumlahnya sangat minim. Seolah-olah guru hanya mampu mengemukakan ide secara verbal saja, sedangkan menulis dianggap memusingkan. Lebih banyak bicara, tapi minim karya.

Padahal guru yang suka menulis berkarya mudah lebih mudah disukai siswa-siswinya (penjelasan lebih lengkap tentang ini silahkan membaca 9 Ciri Guru yang Baik dan Disukai Siswa)

Mudah-mudahan paparan saya kali ini bermanfaat untuk anda. Mulailah menulis tentang yang terdekat dengan anda. Bisa berupa permasalahan siswa, seperti siswa yang paling unik, bandel, cerdas, nakal, dan lainnya. Menulis tentang kejadian yang dialami sendiri tentu lebih mudah dan lebih menarik daripada menulis teori-teori sulit yang orangpun mungkin juga malas membacanya.

Terima kasih telah mengunjungi lapak sederhana ini. Kehadiran dan dukungan Anda adalah penyemangat saya untuk terus menulis dan berbagi informasi tentang pendidikan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Anda.