Mengapa Harus Kartini, Bukan Dewi Sartika Atau Maria Walanda Maramis

Ada 5 pahlawan wanita yang sering kita dengar, dan sangat populer bagi orang Indonesia. Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, dan Martha Crhistina Tiahahu. Masih ada lagi meski kurang populer, yaitu Maria Walanda Maramis, Rasuna Said dan Nyi Ageng Serang.

Mereka adalah pejuang di daerahnya masing-masing, serta dengan bentuk perjuangan masing-masing. Cut Nyak Meutia misalnya, adalah perempuan bernyali asal tanah rencong yang tak gentar berhadapan langsung dengan Belanda. Tiga peluru yang menghujam tubuhnya menjadi bukti sahih keberanian wanita Aceh ini berani mati demi merdeka.

Nah diantara nama-nama itu, siapa yang paling anda ingat? Mungkin anda menjawabnya sektoral, kalau anda tinggal di Aceh, mungkin menyebut Cut Nyak Dien atau Cut Nyak Meutia. Yang dari Maluku, Martha Crhistina Tiahahu mungkin lebih akrab. Namun secara umum, orang Indonesia akan menyebut pahlawan wanita paling populer itu R.A Kartini.

Benar?

Setidaknya ada dua hal yang menggiring pikiran anda menyebut nama itu. Pertama, dialah satu-satunya yang ditetapkan sebagai hari besar (21 April). Kedua, dia juga yang paling sering disebut sebagai tokoh emansipasi wanita.

Mungkin banyak orang bertanya, kenapa hanya R.A Kartini yang terpilih menyandang dua predikat di atas? Inilah pertanyaan yang masih menyisakan penasaran banyak orang.

Baiklah, untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu memilah dulu siapa pahlawan wanita yang perjuangannya senada dengan R.A Kartini. Ada 2 nama yang masuk kategori ini. Keduanya adalah Dewi Sartika dan Maria Walanda Maramis.

Baik R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Maria Maramis, mereka “berperang” lewat jalur pemikiran, bukan berperang secara fisik. Mereka tidak mengangkat senjata, namun mengandalkan pena. Namun, (sekali lagi) kenapa harus Kartini? Kenapa ia yang layak ditokohkan dan dijadikan simbol kemajuan perempuan Indonesia?

Berikut argument-argumen yang menjadikan banyak orang menggugat, kenapa harus R.A Kartini:

1. Ketiganya sama-sama berasal dari keluarga bangsawan

Kalau keluarga yang menjadi dasarnya, sulit diterima. Sebab bukan hanya Kartini yang lahir dari lingkungan birokrat. Dewi Sartika adalah buah hati priyayi Raden Somanagara dan Ny. Raden Rajapermas. Sedangkan Maria Walanda Maramis tak lain anak dari Andries Maramis yang tercatat juga terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia.

2. Mereka hidup di masa yang sama

Sulit mengatakan Kartini menghadapi situasi yang lebih sulit dibanding dua lainnya, sebab ketiganya berjuang pada masa yang sama. Kartini lahir pada tanggal 21 April tahun 1879, terpaut tujuh tahun dari Maria Maramis yang lahir 1 Desember 1872. Sedangkan Dewi Sartika lahir pada 4 Desember 1884.

Artinya, puncak usia mereka berjuang adalah sama-sama pada masa awal pergerakan nasional.

3. Kondisi sosial yang mereka hadapi sama persis

Yaitu larangan wanita untuk sekolah tinggi dan bekerja layaknya kaum pria. Kondisi ini memaksa mereka hanya menyelesaikan sekolah sampai setingkat SD. Kondisi ini pula yang melahirkan pemikiran besar ketiganya tentang emansipasi (persamaan derajat).

4. Mereka juga mendirikan sekolah

Kartini boleh dibilang yang pertama mendirikan sekolah wanita, tepatnya di sebelah kantor Pemkab Rembang (sekarang dikenal sebagai Gedung Pramuka). Namun beberapa tahun berselang, Dewi Sartika mendirikan ‘Sakola Isteri” tahun 1904 yang jauh lebih sukses dibanding “sekolah”nya Kartini.

Bagaimana dengan Maria Maramis? Ia mendirikan organisasi yang dinamainya PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya). Lewat organisasi ini, anak-anak perempuan dididik. Cabangnya melesat sampai tanah Jawa dan Kalimantan.

Sehingga dalam hal ini, karya Dewi Sartika dan Maria Maramis jauh lebih berpengaruh ketimbang karya R.A Kartini.

5. Hanya Kartini yang menulis buku?

Tidak. Ketiga srikandi kita ini semuanya menulis buku. Kartini punya “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan surat-surat Kartini dan diterbitkan tahun 1911. Setahun berselang, Dewi Sartika juga merilis buku “Kaoetamaan Istri”. Sedangkan Maria sering menulis opini di surat kabar lokal Manado “Tjahaja Siang”.

Nah, lalu apa yang menjadi alasan terpilihnya R.A Kartini. Apakah kita harus memaksakan Kartini yang dari suku Jawa itu alasannya, mengalahkan Dewi Sartika yang Sunda dan Maria yang Minahasa? Tentu itu tindakan konyol.

Mengapa Harus Kartini?

Baiklah, alasan yang saya kemukakan berikut masih debatable. Saya juga tak punya kepentingan menggugat anugerah tokoh emansipasi maupun peringatan hari lahirnya yang sudah berjalan puluhan tahun. Yang jelas saya mencoba mencari sisi tertentu yang menunjukkan R.A Kartini tetap sosok yang layak mendapat predikat itu.

1. Dia hidup dalam keluarga yang tak sejalan dengan pemikirannya

Inilah perbedaan paling nampak dari ketiga Srikandi kita di atas.

Dewi Sartika mungkin lebih mudah karena mewarisi jiwa bapak yang juga pemberontak Belanda, sampai harus diasingkan hingga menemui ajal. Begitupun Maria yang juga mewarisi darah seorang pejuang.

Hal serupa tak dirasakan Kartini. Ia berhuang sendirian menjaga pemikiran “liar”nya di hadapan keluarga yang lebih condong pada Belanda. Terbukti bapaknya yang Bupati Jepara itu memadu ibunya dengan putra bangsawan sebagai bentuk kepatuhan pada Belanda.

Kartini harus merasakan 2 hal pahit karena baktinya pada keluarga. Pertama berhenti sekolah saat ia sedang giat-giatnya. Kedua, harus menjalani rumah tangga sebagai istri ke-empat.

2. Dipingit secara ketat

Masih dengan alasan kebiasaan yang berlaku itu, Kartini hanya bisa berada di rumah dan minim kebebasan. Tak mudah menelurkan pemikiran besar hanya bermodalkan membaca buku di rumah. Namun hal itu tetap mampu dilakukannya sambil terus bertukar gagasan lewat surat yang dikirim kepada sahabat penanya di Belanda, Rose Abedanon.

3. Inspirator pejuangan pergerakan Nasional

Ada banyak hal yang menginsipirasi para tokoh pergerakan Nasional, terutama dalam mendirikan dan memperjuangkan organisasi. Di antara pelopor itu adalah buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi salah inspirasi dan dasar pemikiran mereka.

4. Akhir perjalanan hidupnya

Kita tahu sejarah itu menarik bukan hanya karena fakta di dalamnya, namun juga adanya beberapa peristiwa yang memorable, mudah diingat. Kisah hidup Kartini yang termasuk memorable, adalah masa hidupnya yang terbilang singkat, 25 tahun.

Kartini sendiri menyadari hal itu. Ia tahu kelak tidak bakal hidup panjang dan tidak akan melihat buah dari cita-citanya. Namun dibalik itu, ia tetap menulis dan terus menulis. Masa hidup yang singkat ini merangsang minat kaum hawa untuk ikut melanjutkan pemikirannya tentang persamaan hak dan derajat.

Nah, itulah alasan yang bisa saya kemukakan. Sekali lagi masih bisa dikoreksi oleh anda. Namun yang terpenting menurut saya, kalaupun anda menilai bukan R.A Kartini yang layak disebut tokoh emansipasi (Dewi Sartika misalnya lebih pas), tidak perlu juga menggugat ini berlebihan. Tidak penting menurut saya.

Toh semua pahlawan punya kisah masing-masing yang pastinya punya nilai tersendiri yang perlu dikaji. Ini jauh lebih penting ketimbang meributkan tepat atau tidaknya Kartini mendapat kehormatan seperti itu, yang ujung-ujungnya hanya mencela. Seperti menilai Kartini memiliki cacat fatal, yakni mau dijadikan istri ke-empat dan sebagainya.

Kartini, biar bagaimanapun, dengan segenap keyakinan dan upayanya terus berusaha untuk memerdekakan kaum perempuan dan menjadikannya sejajar dengan pria dalam berbagai bidang. Kartini telah meninggalkan percikan pemikiran dalam bentuk tulisan yang ia yakini suatu saat kelak, akan membesar dan dilanjutkan oleh generasi penerusnya.

Terima kasih telah mengunjungi lapak sederhana ini. Kehadiran dan dukungan Anda adalah penyemangat saya untuk terus menulis dan berbagi informasi tentang pendidikan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Anda.